
11 FREE TRAVEL DESTINATION IN JAKARTA
Free tours in Jakarta that are comfortable and enjoyable for those of you who want to vacation around the city of Jakarta
BANYU TIBO BEACH, PACITAN
Banyu Tibo Beach is a beach tourism object that presents quite beautiful natural panoramas that are rarely found on beaches in Indonesia.
Pindul Gunung Kidul Cave Nature Tourism
Enjoy Nature with Cave Tubing
INDRAYANTI BEACH GUNUNGKIDUL
Jogja Beach Tourism with Balinese Nuances
NAMPU BEACH
Nampu Beach, Exotic Wonogiri Beach Tourism
HISTORY OF MATHEMATICS
The branch of study known as the history of mathematics is the investigation of the origins of discoveries in mathematics and, to a lesser extent, the investigation of the methods and notation of mathematics in the past
HISTORY OF MOUNT KRAKATAU IN INDONESIA
In the beginning, the big island of Krakatau, which we usually call by the name of Mount Krakatau, was a mountain (ancient Mount Krakatau) which has a height of about 2000 meters above sea level with a circle of beaches of about 11 km and a radius of about 9 km2.
Friday, May 3, 2019
History of the University of Indonesia

History of Mount Krakatau Indonesia
History of the Kutai Kingdom in East Kalimantan
History of the Kingdom of Kediri
History of Mathematics
History of Radio
History of Radio of the Republic of Indonesia (RRI History)
Thursday, May 2, 2019
Get to know the figure of General Soedirman
![]() |
General Soedirman and Soeharto |
![]() |
General Soedirman and Soeharto |
![]() |
President Soekarno and General Soedirman |
![]() |
General Soedirman on a stretcher during the guerrilla war |
![]() |
Death of General Soedirman |
Saturday, April 20, 2019
Inventor of the Chicken Claw Foundation
The chicken claw foundation system is very simple, so it is very suitable to be applied in areas where modern equipment and skilled workers are hard to come by. To some extent, this system can replace pile foundations. For a 3-4 story building, for example, the chicken claw system will cost the same as a 12-meter pile foundation.
![]() |
Chicken Claw Foundation |
Biografi Ismail Marzuki Sang Mestro Musik
![]() |
Ismail Marzuki |
Nama : Ismail Marzuki
Lahir : Jakarta, 11 Mei 1914
Wafat : Jakarta, 25 Mei 1958
Orang Tua : Marzuki (ayah), Solechah (ibu)
Istri : Eulis Zuraidah
Anak : Rachmi Aziah
Gelar : Pahlawan Nasional
Ismail Marzuki lahir di Kwitang, Senen, Batavia, 11 Mei 1914. Ismail Marzuki yang lebih dikenal dengan panggilan Maing. Ia merupakan anak dari keluarga keturunan Betawi. Ismail Marzuki dikenal memiliki bakat seni yang sulit dicari bandingannya. Sosoknya pun mengagumkan. Ia merupakan anak dari pasangan Marzuki dan Solechah.
Dalam biografi Ismail Marzuki, ia terkenal sebagai pemuda yang berkepribadian luhur dan tergolong anak pintar. Ismail sejak muda senang tampil necis. Bajunya disetrika licin, sepatunya mengkilat dan ia senang berdasi. Darah seni Ismail mengalir dari ayahnya, Marzuki, yang saat itu seorang pegawai di perusahaan Ford Reparatieer TIO.
Ayahnya, Marzuki dikenal gemar memainkan kecapi dan piawai melagukan syair-syair yang bernafaskan Islam. Jadi tidak aneh kalau kemudian Ismail sejak kecil sudah tertarik dengan lagu-lagu.
Orang tua Ismail Marzuki yakni Marzuki dan Solechah termasuk golongan masyarakat Betawi intelek yang berpikiran maju. Ismail Marzuki yang dipanggil dengan nama Ma’ing, sejak bocah sudah menunjukkan minat yang besar terhadap seni musik.
PENDIDIKAN ISMAIL MARZUKI
Ayahnya berpenghasilan cukup sehingga sanggup membeli piringan hitam dan gramafon yang populer disebut “mesin ngomong” oleh masyarakat Betawi tempo dulu. Ismail Marzuki di sekolahkan ayahnya ke sebuah sekolah Kristen HIS Idenburg, Menteng.
Nama panggilannya di sekolah adalah Benyamin. Tapi kemudian ayahnya merasa khawatir kalau nantinya bersifat kebelanda-belandaan, Ismail Marzuki lalu dipindahkan ke Madrasah Unwanul-Falah di Kwitang. Beranjak dewasa, dia dibelikan ayahnya alat musik sederhana.
Setelah tamat MULO, Ismail Marzuki bekerja di Socony Service Station sebagai kasir dengan gaji 30 gulden sebulan, sehingga dia sanggup menabung untuk membeli biola. Namun, pekerjaan sebagai kasir dirasakan kurang cocok baginya.
Ia kemudian pindah pekerjaan dengan gaji tidak tetap sebagai verkoper (penjual) piringan hitam produksi Columbia dan Polydor yang berkantor di Jalan Noordwijk (sekarang Jalan Ir. H. Juanda) Jakarta.
Terjun Ke Dunia Musik
Penghasilannya tergantung pada jumlah piringan hitam yang dia jual. Rupanya, pekerjaan ini hanya sebagai batu loncatan ke jenjang karier berikutnya dalam bidang musik.
Selama bekerja sebagai penjual piringan hitam, Ismail Marzuki banyak berkenalan dengan artis pentas, film, musik dan penyanyi, di antaranya Zahirdin, Yahya, Kartolo, dan Roekiah (orangtua Rachmat Kartolo). Pada 1936, Ismail Marzuki memasuki perkumpulan orkes musik Lief Jawa sebagai pemain gitar, saksofon, dan harmonium pompa.
Menciptakan Lagu Sendiri
Tahun 1934, Belanda membentuk Nederlands Indische Radio Omroep Maatshappij (NIROM) dan orkes musik Lief Java mendapat kesempatan untuk mengisi acara siaran musik. Tapi Ismail Marzuki mulai menjauhkan diri dari lagu-lagu Barat, kemudian menciptakan lagu-lagu sendiri antara lain “Ali Baba Rumba”, “Ohle le di Kotaraja”, dan “Ya Aini”.
Lagu ciptaannya kemudian direkam kedalam piringan hitam di Singapura. Orkes musiknya punya sebuah lagu pembukaan yang mereka namakan Sweet Jaya Islander.
Lagu tersebut tanpa pemberitahuan maupun basa-basi dijadikan lagu pembukaan siaran radio NIROM, sehingga grup musik Ismail Marzuki mengajukan protes, namun protes mereka tidak digubris oleh direktur NIROM.
Pada periode 1936-1937, Ismail Marzuki mulai mempelajari berbagai jenis lagu tradisional dan lagu Barat. Ini terlibat pada beberapa ciptaannya dalam periode tersebut, “My Hula-hula Girl”. Kemudian lagu ciptaannya “Bunga Mawar dari Mayangan” dan “Duduk Termenung” dijadikan tema lagu untuk film “Terang Bulan”.
Awal Perang Dunia II (1940) mulai mempengaruhi kehidupan di Hindia-Belanda (Indonesia). Radio NIROM mulai membatasi acara siaran musiknya, sehingga beberapa orang Indonesia di Betawi mulai membuat radio sendiri dengan nama Vereneging Oostersche Radio Omroep (VORO) berlokasi di Kramat Raya. Antena pemancar mereka buat sendiri dari batang bambu.
Tiap malam Minggu orkes Lief Java mengadakan siaran khusus dengan penyanyi antara lain Annie Landouw. Ismail Marzuki malah jadi pemain musik sekaligus mengisi acara lawak dengan nama samaran “Paman Lengser” dibantu oleh “Botol Kosong” alias Memet.
Karena Ismail Marzuki sangat gemar memainkan berbagai jenis alat musik, suatu waktu dia diberi hadiah sebuah saksofon oleh kawannya yang ternyata menderita penyakit paru-paru. Setelah dokter menjelaskan pada Ismail Marzuki, lalu alat tiup tersebut dimusnahkan. Tapi, mulai saat itu pula penyakit paru-paru mengganggunya.
Membentuk Perikatan Radio Ketimuran (PRK)
Ketika Ismail Marzuki membentuk organisasi Perikatan Radio Ketimuran (PRK), pihak Belanda memintanya untuk memimpin orkes studio ketimuran yang berlokasi di Bandung (Tegal-Lega). Orkesnya membawakan lagu-lagu Barat.
Pada periode ini dia banyak mempelajari bentuk-bentuk lagu Barat, yang digubahnya dan kemudian diterjemahkannya ke dalam nada-nada Indonesia.
Sebuah lagu Rusia ciptaan R. Karsov diterjemahkan ke dalam bahasa Sunda menjadi “Panon Hideung”. Sebuah lagu ciptaannya berbahasa Belanda tapi memiliki intonasi Timur yakni lagu “Als de orchideen bloeien”. Lagu ini kemudian direkam oleh perusahaan piringan hitam His Master Voice (HMV). Kelak lagu ini diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Bila Anggrek Mulai Berbunga”.
Tahun 1940, Ismail Marzuki menikah dengan penyanyi kroncong Eulis Zuraidah. Pada Maret 1942, saat Jepang menduduki seluruh Indonesia, Radio NIROM dibubarkan diganti dengan nama Hoso Kanri Kyoku. PRK juga dibubarkan Jepang, dan orkes Lief Java berganti nama Kireina Jawa.
Menciptakan Lagu Perjuangan
Saat itu Ismail Marzuki mulai memasuki periode menciptakan lagu-lagu perjuangan. Mula-mula syair lagunya masih berbentuk puitis yang lembut seperti “Kalau Melati Mekar Setangkai”, “Kembang Rampai dari Bali” dan bentuk hiburan ringan, bahkan agak mengarah pada bentuk seriosa.
Dalam Biografi Ismail Marzuki diketahui bahwa pada periode 1943-1944, Ismail Marzuki menciptakan lagu yang mulai mengarah pada lagu-lagu perjuangan, antara lain “Rayuan Pulau Kelapa”, “Bisikan Tanah Air”, “Gagah Perwira”, dan “Indonesia Tanah Pusaka”.
Kepala bagian propaganda Jepang, Sumitsu, mencurigai lagu-lagu tersebut lalu melaporkannya ke pihak Kenpetai (Polisi Militer Jepang), sehingga Ismail Marzuki sempat diancam oleh Kenpetai. Namun, putra Betawi ini tak gentar. Perjuangan Ismail Marzuki selanjutnya pada 1945 menciptakan lagu “Selamat Jalan Pahlawan Muda”.
Setelah Perang Dunia II, ciptaan lagu Ismail Marzuki terus mengalir, antara lain “Jauh di Mata di Hati Jangan” (1947) dan “Halo-halo Bandung” (1948). Ketika itu Ismail Marzuki dan istrinya pindah ke Bandung karena rumah mereka di Jakarta kena dihantam peluru mortir.
Ketika berada di Bandung selatan, ayah Ismail Marzuki di Jakarta meninggal. Ismail Marzuki terlambat menerima berita. Ketika dia tiba di Jakarta, ayahnya telah beberapa hari dimakamkan. Kembang-kembang yang menghiasi makam ayahnya dan telah layu, mengilhaminya untuk menciptakan lagu “Gugur Bunga”.
Lagu-lagu ciptaan lainnya mengenai masa perjuangan yang bergaya romantis tanpa mengurangi nilai-nilai semangat perjuangan antara lain “Ke Medan Jaya”, “Sepasang Mata Bola”, “Selendang Sutra”, “Melati di Tapal Batas Bekasi”, “Saputangan dari Bandung Selatan”, “Selamat Datang Pahlawan Muda”.
Lagu hiburan populer yang (kental) bernafaskan cinta pun sampai-sampai diberi suasana kisah perjuangan kemerdekaan. Misalnya syair lagu “Tinggi Gunung Seribu Janji”, dan “Juwita Malam”.
Lagu-lagu yang khusus mengisahkan kehidupan para pejuang kemerekaan, syairnya dibuat ringan dalam bentuk populer, tidak menggunakan bahasa Indonesia tinggi yang sulit dicerna. Simak saja syair “Oh Kopral Jono” dan “Sersan Mayorku”.
Lagu-lagu ciptaannya yang berbentuk romantis murni hiburan ringan, walaupun digarap secara populer tapi bentuk syairnya berbobot seriosa. Misalnya lagu “Aryati”, “Oh Angin Sampaikan". Tahun 1950 dia masih mencipta lagu “Irian Samba” dan tahun 1957 lagu “Inikah Bahagia” suatu lagu yang banyak memancing tanda tanya dari para pengamat musik.
Sampai pada lagu ciptaan yang ke 100-an, Ismail Marzuki masih merasa belum puas dan belum bahagia. Malah, lagu ciptaannya yang ke-103 tidak sempat diberi judul dan syair.
Ismail Marzuki Wafat
Hingga Ma’ing alias Ismail Marzuki komponis besar Indonesia itu menutup mata selamanya pada 25 Mei 1958. Peran Ismail Marzuki terhadap sejarah musik Indonesia sangat vital, khususnya lagu-lagu perjuangan yang ia ciptakan.
![]() |
Makam Ismail Marzuki di TPU Karet Bivak Jakarta |
* Aryati
* Gugur Bunga
* Melati di Tapal Batas (1947)
* Wanita
* Rayuan Pulau Kelapa
* Sepasang Mata Bola (1946)
* Bandung Selatan di Waktu Malam (1948)
* O Sarinah (1931)
* Keroncong Serenata
* Kasim Baba
* Bandaneira
* Lenggang Bandung
* Sampul Surat
* Karangan Bunga dari Selatan
* Selamat Datang Pahlawan Muda (1949)
* Juwita Malam
* Sabda Alam
* Roselani
* Rindu Lukisan
* Indonesia Pusaka

Commodore Yos Sudarso Biography
![]() |
Vice Admiral TNI (Ant) Yosaphat Soedarso |